Sunday, March 13, 2011
pawai ' nyongkol' Suku sasak
Perkawinan adat Sasak yang melalui proses panjang dan penuh dengan aturan nilai-nilai dan etika sosial, sebenarnya mampu meminimalisir perkawinan dini yang banyak merugikan pihak perempuan. Sejak awal hingga rampungnya prosesi dalam membina rumah tangga dalam masyarakat Sasak, melalui
perjalanan yang panjang hingga akhirnya seluruh rangkaian upacara adat perkawinan tersebut berakhir. Salah satu acara inti dalam prosesi perkawinan adat Sasak adalah sorong serah dan nyongkolan (tradisi
arak-arakan pengantin menuju rumah mempelai wanita). Selama proses perkawinan adat Sasak dilakukan, kegiatan berupa begawe inti yang diselenggarakan di keluarga laki-laki pun dimulai, yang disebut dengan rowah angkat gawe. Diadakan selamatan untuk memulai begawe tersebut dengan doa dan zikir. Acara ini biasanya diikuti oleh para lelaki. Sedangkan perempuan Sasak juga memiliki acara sendiri yang disebut dengan betangko (malam khusus untuk tamu-tamu perempuan yang datang ke undangan orang begawe). Sedangkan pada jelo gawe (hari begawe)-nya, ada penerimaan
tamu-tamu adat baik laki-laki ataupun perempuan. Seluruh prosesi adat pun dilangsungkan hingga akhirnya tiba saat untuk akad nikah yang kemudian dilanjutkan dengan sorong serah, dan nyongkolan.
Ada juga untuk melengkapi perkawinan tersebut ada acara sorong serah aji krama pihak laki-laki dan perempuan masing-masing diwakili sekelompok masyarakat adat yang terdiri dari juru bahasa adat atau yang disebut pembayun, Kepala Desa sebagai pengemong adat dan Kepala Dusun sebagai pamong adat.
Dalam sorong serah ini penentu aji krama –nilai adat-- dari orang yang bersangkutan dikaitkan dengan strata sosial dan dalam adatnya. Misalnya, bagi mereka yang bangsawan atau yang dikenal dengan kalangan menak disebut dengan aji satus (seratus), kalangan menengah atau yang dikenal dengan perbape disebut aji enam dase enam (enam puluh enam). Sedangkan bagi kalangan biasa atau jajarkarang, disebut aji telong dase telu (tiga puluh tiga). Hal ini dimaksudkan sebagai hak keluarga baru dalam adat Sasak. Aji sendiri dapat dibagi dua yakni napak lemah, injak tanah yang menggambarkan kesanggupan keluarga baru tersebut untuk kehidupan keluarganya ke depan. Biasanya ini disimbolkan dengan materi berupa sejumlah uang dan emas tergantung stratanya. Juga ada yang disebut olen yakni kesanggupan dari laki-laki untuk melindungi keluarganya dengan memberikan sandang pangan, pakaian, dan memenuhi kebutuhan lahir batinnya. Olen simbolnya berupa kain, jumlah kain tergantung ajinya. Sebagai pengiring atau penyertaan dari aji ini yang disebut jajar kemiri terdiri dari, salindende yang merupakan hantaran sebagai ucapan terima kasih kepada ibu dari mempelai perempuan. Simbolnya berupa periuk, terompong untuk peniup api tungku, kain ceraken, besek berupa kotak-kotak penyimpan bumbu, dan obat-obatan. Ini diserahkan pada ibu si mempelai perempuan. Selain itu ada juga yang disebut dengan penjaruman, dimaksudkan untuk menjalin kekeluargaan antara keluarga perempuan dan laki-laki yang menikah. Simbolnya berupa materi yakni uang. Juga ada yang disebut dengan babas kute. Biasanya mempelai laki-laki dari kabupaten akan datang ke desa perempuan dengan cara nyongkolan. Maka akan ada beberapa desa yang akan dilalui oleh rombongan nyongkolan tersebut, rombongan ini akan menyiapkan semacam oleh-oleh atau hadiah yang diberikan pada setiap desa yang dilaluinya. Simbolnya berupa uang. Selanjutnya ada kau tindu, yang sebenarnya tidak wajib menjadi pengiring atau penyerta dari aji dan jarang disertakan. Ini berupa tambahan yang isinya kadang-kadang hadiah besar yang dibawa oleh mempelai laki-laki untuk mempelai perempuan. Hadiah ini, bisa berupa emas. Ada yang penting juga yang disebut sirah aji (kepala dari semua aji krama). Simbolnya berupa kain kembang komek tenun hitam bergaris-garis putih sebagai lambing kehidupan dan juga kain kafan dan sebilah keris. Ini melambangkan penyerahan diri pengantin laki-laki sepenuhnya kepada mertuanya (orangtuamempelai perempuan), Pada akhir proses sorong serah jika terjadi kesepakatan maka antar
pembayun penyorong dari pihak laki-laki dan pembayun penampi dari pihak perempuan, akan menyatakan ”atas ijin dari sidang adat perempuan (maksudnya mempelai perempuan) saya terima –maksudnya perempuan ini diterima secara adat-”. Prosesi ini disebut pegat aji krama. Salah seorang tokoh adat akan diminta untuk megat tali jinah biasanya menggunakan kepeng bolong yang diikat kemudian diputus sebagai pertanda bahwa berakhirnya sorong serah.
”Yen sampun puput pembaosan pegat tali jinah tau onang kebaos maliq” yang artinya jika sudah putus pembicaraan dengan memegat tali jinah maka tidak boleh dibicarakan lagi. Maka setelah itu usailah semua prosesi adat pernikahan Sasak. Acara dilanjutkan dengan nyongkol (mengarak pengantin menuju rumah mempelai perempuan).
Upacara nyongkolan juga memiliki aturan dan tata cara adat. Bagi para bangsawan rombongan berjumlah tertentu disertai simbol-simbol adat, Dari simbol-simbol tersebut akan terlihat strata atau golongan si empunya acara. Urut-urutan barisan nyongkolan kaum bangsawan terdiri dari paling depan disebut kebon odek berisi orang-orang yang membawa buah-buahan, sayuran, padi, dan daun-daunan. Ini merupakan simbol atau gambaran dari kesuburan. Diikuti oleh pemucuk yakni rombongan orang tua-orang tua dari keluarga laki-laki. Di belakangnya diikuti oleh pembawa karas (besek besar berisi apa yang disukai pengantin). Rombongan pembawa karas ini harus orang dari keluarga pengantin yang merupakan abdi dalem keluarga sehingga tidak sembarang orang mau ikut dalam barisan ini. Para perempuannya memakai pakaian lambung –pakaian adat Sasak. Di belakangnya diikuti oleh rombongan
pengantin dan pengiring serta pendamping pengantin perempuan. Lalu rombongan pengantin laki-laki.
Di belakang rombongan pengantin ini ada penggembira yang membawa ongsongan (oleh-oleh yang ditempatkan dalam sebuah miniatur rumah) yang dipikul beramai-ramai. Isinya ada buah kelapa dan lain-lain, yang begitu tiba tujuan nyongkol yakni kediaman pengantin perempuan, oleh-oleh ini boleh diambil oleh masyarakat di kediaman pengantin perempuan. Jadi bukan merupakan hantaran. Diikuti dengan pengiring kesenian khas Lombok seperti tawaq-tawaq, gendang beleq, gamelan, rebana, dan lain-lain. Di zaman dulu, ada yang disebut mendakim yakni kelompok perempuan yang menanti rombongan nyongkol di pintu gerbang desa (batas desa memasuki desa mempelai perempuan). Mereka
menyiapkan buah-buahan untuk menjamu tamu nyongkol yang datang, semacam ucapan selamat datang. Acara nyongkolan sebenarnya hanya sebentar saja, sekadar mempertemukan pengantin perempuan dengan keluarganya setelah itu kembali ke rumah pengantin laki-laki. Nyongkolan sekaligus berfungsi sebagai pengumuman bahwa kedua mempelai sudah dikukuhkan. Dalam adat Sasak yang asli,
pengumuman ini telah berlangsung sejak proses sejati dan selabar Saat itu ada orang yang khusus membawa gong dalam rombongan kecil. Gong ini akan dipukul di setiap perempatan jalan yang dilalui. Jika orang mendengar ada gong yang dibunyikan, maka secara otomatis masyarakat mengetahui bahwa akan ada yang menikah .Acara nyongkol dilakukan antara waktu Dhuhur dan Asyar. Sekarang waktu ini banyak dilanggar, banyak yang nyongkol melewati waktu Asyar bahkan ada yang dimulai setelah Asyar,dan banyak menggunakan music modern serta biduan yang lenggak lenggok secara sensual .
Setelah acara nyongkol usai, bukan berarti berakhirlah acara perkawinan adat tersebut, namun masih ada beberapa acara penutupnya. Antara lain, tiga hari atau seminggu kemudian ada yang dinamakan bales ones nain. Acara ini merupakan napak tilas pengantin dan rombongan keluarga dekat dalam sebuah ramah tamah dari laki-laki ke pihak perempuan. Ini merupakan perkenalan lengkap seluruh keluarga besar kedua mempelai. Barulah setelah ini acara adat benar-benar berakhir.
Subscribe to:
Posts (Atom)